

Ani-ani menjadi alat panen tradisional yang dikenal luas di Indonesia. Sayang, keberadaanya kini kian terpinggirkan. Penggunaan alat panen modern menjadi alasan utamanya, selain juga keberadaan lahan pertanian yang kian hari mengalami penyempitan.
Menjadi alat panen tradisional, ani-ani keberadaannya memang sudah mulai sulit dijumpai. Penggunaan mesin modern yang kian massif menjadi sebab utama tergerusnya alat pertanian ini. Lalu, sebelum akhirnya ‘tenggelam’, seperti apa sebenarnya asal muasal alat andalan panen padi para petani di masanya itu?
Mengutip laman Wikipedia, konon para petani tradisional Jawa dan Sunda dulu pamali menggunakan arit atau sabit untuk memanen padi. Sebagai gantinya, mereka menggunakan ani-ani. Alat panen ini sangat mungil hingga bahkan bisa tersembunyi di balik telapak tangan. Masyarakat Sunda memiliki kepercayaan bahwa Nyai Pohaci Sanghyang Sri atau orang Jawa menyebut Dewi Sri, memiliki jiwa yang halus, lemah lembut dan dinilai akan takut terhadap benda tajam seperti arit atau golok. Oleh karena itu, alat panen tak menggunakan keduanya. Di samping itu, sebagai perwujudan sang Dewi, petani harus memperlakukan panenan dalam hal ini padi dengan istimewa. Caranya, dengan memotong malai padi satu per satu dan tidak asal babat sebagaimana menggunakan sabit.
Alat ini sebenarnya bentuknya sangat mungil. Terbuat dari bambu yang dipasang mata pisau, alat panen tradisional satu ini rata-rata berukuran 10-20 mm dan panjang sekitar 10 cm saja. Tebal pisau baja yang ‘nyempil’ di dalamnya pun hanya 1,3-3 mm saja.
Adapun cara menggunakan alat tersebut untuk panen padi adalah sebagai berikut. Pertama, tekan mata pisau pada malai padi (tangkai kecil, tempat padi berbuah) yang akan diporong. Lalu, tempatkan malai pada di antara jari telunjuk dan jari manis tangan kanan. Kedua jari itu, nantinya yang bertugas menarik malai pada ke arah pisau hingga terpotong. Jika sudah, malai padi yang sudah terpotong letakkan di tangan kiri atau masukan ke dalam wadah.
Ani-ani bukan sekedar alat panen tradional, tetapi juga memiliki nilai filosofi tinggi. Tajamnya pisau alat potong padi itu bisa menjadi gambaran akan tajam atau kerasnya kehidupan, sehingga dalam menjalani hidup harus berhati-hati. Penggunaan ani-ani untuk memilih satu persatu tangkai padi yang bakal panen dapat memberikan pelajaran pada kita bahwa dalam kehidupan hendaknya mampu memilih dan memilah agar tidak jatuh pada ‘jalan yang salah’.
Sayang, keberadaan ani-ani kini mulai terkikis seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi pertanian. Ya, memang kita tak bisa memungkiri dengan menggunakan alat panen tradisional itu, proses memanen padi jauh lebih lama. Lagi pula, dengan alat itu, memetik padi hanya bagian malai-nya saja, sedangkan batang pohonnya masih tertinggal. Tentu, ini menjadi PR (pekerjaan rumah) ganda bagi petani untuk membabatnya. Padahal, jika menggunakan sabit, sekali babat batang padi langsung kena tebas. Usai padi dirontokkan manual maupun menggunakan mesin perontok padi, tanah tinggal di bajak saja. Apalagi jika menggunakan alat panen padi yang lebih modern, sekali mesin berjalan, batang padi tertebang, dan bulir padi sudah masuk otomatis ke kantong yang tersedia. Petani modern tak lagi berpayah-payah ria di sawah dalam waktu yang lama.
Demikian informasi tentang ani-ani. Masihkah terdapat petani yang memanen dengan alat ini di tempat Anda? Jika sudah tak ada atau malah penasaran bagaimana menggunakan alat ini secara langsung, Anda bisa datang ke Jatiluwih, Bali yang biasanya menggelar tradisi potong padi dengan alat tersebut saat musim panen tiba. (y)