Matekab atau membajak sawah di Bali kini keberadannya kian terpinggirkan, tergerus oleh kehadiran alat bajak modern, seperti traktor. Meski demikian, Anda masih bisa melihat atraksi budaya petani di propinsi ini membajak sawahnya secara tradisional di beberapa wilayah. Berikut adalah informasi seputar cara membajak sawah tradisional ala Pulau Dewata itu.
Indonesia memang populer sebagai daerah agraris. Memiliki lahan yang gembur membuat pertanian menjadi salah satu mata pencarian sebagian besar masyarakat, termasuk di Bali. Meski sudah populer sebagai kawasan wisata, nyatanya Pulau Dewata masih memiliki banyak sisi menarik lain, seperti pengolahan tanah sawah menggunakan bajak. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai matekab. Berbeda dengan bajak modern yang menggunakan traktor tangan maupun traktor beroda (ukuran besar), istilah yang baru saja disebut merujuk pada kegiatan membajak sawah dengan menggunakan hewan, yaitu sapi atau kerbau.
Seperti banyak daerah lain di Indonesia, kegiatan membajak sawah atau matekab menggunakan luku dan garu (sebutan di Jawa). Sementara di Bali keduanya masing-masing bernama singkal dan lampit. Luku sama dengan singkal, yaitu alat yang berfungsi untuk membalik tanah. Sementara garu sama dengan lampit, adalah alat yang berfungsi untuk meratakan tanah setelah proses singkal atau luku.
Sayang, matekab kini telah banyak petani tinggalkan. Efisiensi biaya dan efektivitas pengerjaan menjadi dua alasan pokok mulai terpinggirkannya budaya pertanian satu ini. Sebagai gantinya, petani beramai-ramai menggunakan traktor. Selain lebih cepat dalam pengerjaan, pengeluaran biaya akan lebih murah. Sebagai perhitungan, misal untuk membajak traktor sepetak sawah butuh waktu setengah hari, sedangkan dengan bajak tradisional Bali bisa memakan waktu 2 hari. Artinya petani akan mengeluarkan biaya lebih untuk makan dan biaya lainnya untuk membayar pembajak (tukang matekab-nya). Pasalnya, tak semua petani memiliki sapi sendiri dan mampu melakukan kegiatan membajak sawah sendiri pula.
Apabila menganggap hal tersebut sebagai kelemahan matekab, sebenarnya ada banyak kelebihan bajak tradisional Bali itu. Saat sapi membuang hajat besar maupun kecil di tengah membajak, artinya ada pupuk alami yang tersebar bersamaan proses membajak tersebut. Hal ini tentu baik bagi gemburnya lahan. Selaon itu, matekab yang disokong oleh tenaga hewan memungkinkan menjangkau petak sawah yang sulit dijangkau traktor. Apalagi beberapa wilayah di Bali dikenal memiliki model sawah berundak atau terasering. Tentu, model sawah ini akan lebih cocok dibajak dengan matekab daripada menggunakan traktor.
Selain itu, gulma juga akan lebih sedikit. Hal ini lantaran saat proses matekab, sapi akan menginjak tanah yang kemudian dibalik. Tekanan tanah ini membuat gulma lebih sedikit tumbuh daripada membajak dengan traktor yang lebih dangkal.
Sementara itu, matekab kini juga menjadi atraksi wisata di Bali. Anda bisa menjumpainya di Pinge, Desa Baru, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Di sini, pelancong tak hanya bisa menyaksikan petani membajak sawah, tetapi juga bisa ambil bagian. Pengalaman membajak sawah tradisional ini, tak dipungkiri bakal menjadi pengalaman unik selama berpiknik di Bali.
Demikian matekab yang masih terjaga di Bali hingga kini. Kegiatan ini bakal Anda jumpai saat bertandang ke Bali di kawasan pertanian, tentu saat musim tanam tiba. Lalu, bagaimana dengan daerah Anda? Sudahkah petani mulai membajak dengan traktor dan meninggalkan bajak tradisional? Atau mereka membajak dengan tetap mengkombinasikan alat keduanya? (y)